Resensi dan Ringkasan Lengkap Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata
Identitas Buku
Sampul Buku Sumber: gramedia.com |
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : 2011 (Cetakan ketiga, April 2012)
Kota Terbit : Yogyakarta
Sinopsis Novel
Novel Sang Pemimpi ditulis oleh Andrea Hirata sebagai novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi. Tetralogi Laskar Pelangi sendiri terdiri dari buku Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov.
Novel ini menceritakan tentang kehidupan tokoh Ikal bersama sahabatnya, Arai dan Jimbron ketika masih muda. Mereka bertiga bersekolah di SMA yang sama dan tinggal di tempat kos yang sama. Sembari bersekolah, mereka juga bekerja ngambat (memikul ikan) untuk meringankan biaya orang tua. Sebagai novel yang berlatar kehidupan SMA, tentunya dalam novel ini juga banyak berisi proses pencarian jati diri pada anak SMA, mulai dari kejar-kejaran dengan wakil kepala sekolah, dihukum karena melanggar peraturan sekolah, serta tidak ketinggalan kisah percintaan khas anak SMA. Meskipun demikian, ketiga sahabat itu memiliki prestasi yang tidak buruk, bahkan Arai dan Ikal masuk dalam 5 besar di SMA. Hal ini dikarenakan ketiga sahabat itu tetap semangat untuk bersekolah dan menggapai mimpi - mimpi mereka.
Setelah lulus SMA, Arai dan Ikal pergi merantau ke Pulau Jawa, berbekal tabungan Jimbron ketika bekerja ngambat(memikul ikan). Ketika itu, mereka kembali menemui berbagai persoalan hidup, terutama masalah keuangan dan pekerjaan. Namun demikian, mereka tidak pernah menyerah. Arai kuliah di Bogor dengan bekerja sampingan di kantor pos, sementara Arai kuliah dan bekerja di Kalimantan. Ternyata, mereka berdua mendaftar beasiswa untuk melanjutkan studi di luar negeri. Arai dan Ikal kembali bertemu setelah selesai seleksi pendaftaran beasiswa tersebut. Mereka kemudian pulang kembali ke Pulau Belitung. Novel ini selesai ketika Arai, Ikal, serta keluarganya membaca surat berisi hasil beasiswa tersebut.
Setelah lulus SMA, Arai dan Ikal pergi merantau ke Pulau Jawa, berbekal tabungan Jimbron ketika bekerja ngambat(memikul ikan). Ketika itu, mereka kembali menemui berbagai persoalan hidup, terutama masalah keuangan dan pekerjaan. Namun demikian, mereka tidak pernah menyerah. Arai kuliah di Bogor dengan bekerja sampingan di kantor pos, sementara Arai kuliah dan bekerja di Kalimantan. Ternyata, mereka berdua mendaftar beasiswa untuk melanjutkan studi di luar negeri. Arai dan Ikal kembali bertemu setelah selesai seleksi pendaftaran beasiswa tersebut. Mereka kemudian pulang kembali ke Pulau Belitung. Novel ini selesai ketika Arai, Ikal, serta keluarganya membaca surat berisi hasil beasiswa tersebut.
Kelebihan Novel
Novel ini sangat menginspirasi pembaca, semangat dan perjuangan Arai, Ikal, dan Jimbron untuk tetap belajar memotivasi pembaca supaya tidak mudah menyerah dalam hidup. Selain itu, Andrea Hirata juga banyak menggunakan istilah-istilah terkait sains, yang tidak lupa menambahkan keterangan tentang makna istilah tersebut. Hal ini akan memperkaya wawasan dan pengetahuan pembaca. Meskipun novel yang berisi perjuangan meraih mimpi, penulis tidak menggunakan bahasa yang kaku dan membosankan, melainkan dengan bahasa yang dapat dibaca dengan mengalir serta selingan humor yang membuat pembaca tidak merasa bosan.
Kekurangan Novel
Salah satu kekurangan novel ini adalah alur yang disusun kurang sistematis. Hal ini dikarenakan Andrea Hirata banyak menceritakan suatu cerita selingan yang bertujuan untuk menjelaskan cerita lain pada novel berikutnya. Misalnya, salah satu bagian di novel sang pemimpi menceritakan tentang seorang pahlawan dari Afganistan, Oruzgan Mourad Karzani. Bagian ini nantinya akan berhubungan dengan bagian di Novel Edensor. Meskipun demikian, bagi pembaca yang terbiasa dengan gaya menulis seperti itu, maka hal itu tidak akan menjadi masalah
Ringkasan Novel
Senin itu banyak siswa yang terlambat, termasuk aku, Arai, dan Jimbron. Pak Mustar, wakil kepala sekolah garang yang sedang berpidato ditirukan gayanya oleh Aku, Arai, dan Jimbron. Pak Mustar mengetahuinya, ia pun kami bertiga. Kami berlari, dengan pandangan dari seluruh warga SMA, terus berlari sampai menuju pasar. Kami terperangkap di pasar. Satu satunya jalan adalah sembunyi di peti es, kami melakukannya, tapi tetap saja apa yang kami lakukan diketahui Pak Mustar. Namun pasar itu menjadi begitu istimewa. Lalu lalang kendaraan adalah serpihan fatamorgana. Burung Camar mematuki cumi yang berjuntai di lubang lubang peti, terbang labuh. Sayap kumbang berkilauan terbias warna-warni dedaunan maranta. Demikian indahkah hidup dilihat dari seorang pemimpi. Beginikah seorang pemimpi melihat dunia?
Arai dan Jimbron adalah sahabatku. Arai seperti orang pada umumnya, namun yang membedakan dia dengan orang lainnya adalah mimpi mimpi nya. Dia sering berkata padaku, bahwa orang yang miskin seperti kita, hanya memiliki mimpi. Tanpa mimpi, kita akan mati. Karena memang hidup Arai sangat sulit, Ibunya meninggal ketika ia kelas satu SD, lalu Ayahnya juga meninggal menginjak ia kelas tiga SD. Arai sebatang kara, orang melayu sering menyebutnya Simpai Keramat, artinya orang terakhir yang tersisa dari satu keluarga. Namun tidak pernah terlintas kesedihan di mukanya, ia adalah seorang pemimpi yang selalu ceria dan selalu semangat bersama mimpi mimpi nya. Karena baginya, bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi mimpi itu.
Semenjak ayahnya meninggal, Arai hidup dengan keluargaku. Aku dan Arai menjadi sangat dekat. Kami melakukan banyak hal bersama. Kami pernah memecahkan celengan kami yang berisi recehan demi membelikan tetangga bahan membuat roti agar ia dapat memulai usaha penjualan roti dan tidak setiap hari meminta nasi pada tetangganya. Kami pernah juga bersama sama mengaji serta mengerjai guru ngaji kami. Aku dan Arai seperti sebatang jarum di atas meja dan magnet dibawahnya.
Sahabatku yang lain bernama Jimbron. Sama seperti Arai, orang tuanya telah meninggal. Ia dibesarkan oleh Pendeta Geovanny. Jimbron gagap, namun ia hanya gagap apabila sedang panik saja. Jimbron sangat menyukai kuda, ia terobsesi pada kuda walaupun di kampung kami tak ada seekor pun kuda.
Kami bertiga merantau ke Magai untuk sekolah di SMA negeri. Kami sekolah sambil bekerja. Kami pernah bekerja mendulang timah, bekerja di warung orang cina, office boy, hingga sekarang kami bekerja ngambat, atau memikul ikan dan hasil laut lain dari perahu ke pasar pasar. Terlepas dari pekerjaan kami, di sekolah kami selalu termotivasi oleh guru guru kami, terutama Pak Balia sebagai kepala sekolah kami akan perlunya mengejar mimpi. Seperti yang disampaikannya,”Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaik mu.”
Kata kata itulah yang terus memotivasiku untuk belajar dan bekerja keras. Walaupun orang tuaku bahkan orang yang tak tersentuh oleh bangku pendidikan. Ibuku masih dapat menulis dengan huruf latin, tapi ayahku bahkan hanya dapat menulis namanya dengan tulisan arab. Ayahku adalah seorang yang pendiam. Tapi aku paham bahwa lelaki pendiam memiliki kasih sayang yang jauh lebih besar kepada keluarganya. Salah satu buktinya adalah baju safari ayahku. Baju itu tidak pernah ayah gunakan kemanapun untuk tujuan apapun, kecuali ke sekolahku untuk mengambil rapor ku dan Arai.
Aku, Arai, dan Jimbron sering melakukan hal bersama sama, baik hal yang baik hingga yang agak nakal sekalipun. Di depan los kontrakan kami, terdapat sebuah gedung bioskop yang tampaknya akan memutar film baru. Film itu adalah film yang disebut orang kota sana film biru, sehingga kami tidak berani untuk mendekatinya, apalagi menontonnya. Pak Mustar juga melarang keras kami menonton film di bioskop. Akan tetapi, darah muda kami seolah berkata lain, hingga atas ide Jimbron, kami menyamar sebagai orang bersarung dan masuk ke bioskop untuk menonton film itu. Kami berhasil melewati tukang karcis sekaligus tukang sobeknya. Kami berhasil memasuki bioskop dan menonton film itu. Di dalam, kami berpikir lain, ternyata film ini memang membosankan dan mudah ditebak. Penyesalan kami berlanjut ketika di saat saat terakhir film, Pak Mustar sudah di depan kami. Ternyata Pak Mustar mengetahui apa yang kami lakukan. Pak Mustar benar benar geram, ia menyeret kami keluar bioskop dan berkata, “Ingin tahu seperti apa neraka dunia? Lihat saja di sekolah Senin pagi nanti, Berandal!”
Senin pagi tidak ada siswa yang terlambat apel. Seperti yang dikatakan Pak Mustar sebelumnya, kami akan diperlihatkan neraka dunia oleh Pak Mustar. Ternyata benar, Pak Mustar memberikan kami hukuman untuk membersihkan WC yang sudah sangat kotor dan juga membersihkan kotoran kelelawar pada langit-langitnya. Namun bukan itu yang paling mengerikan, karena justru yang paling mengerikan adalah ketika kami bertiga disuruh untuk berakting menirukan film yang kami tonton di bioskop. Itulah kejadian yang sangat memalukan, hanya Jimbron yang masih dapat berakting dengan sepenuh hati.
Begitulah pemikiran Jimbron, dalam pikirannya, jika kita ditimpa buah nangka, itu artinya memang nasib kita harus ditimpa buah nangka, Tuhan telah mencatat dalam buku-Nya bahwa kita memang akan ditimpa buah nangka. Dengan mentalitas seperti itulah Jimbron mempersepsikan dirinya. Barangkali ada benarnya, tapi tak dapat dipungkiri bahwa pandangan itu mengandung kenaifan mahabesar. Diperlukan intelegensi yang tinggi untuk memahami bahwa buah nangka matang yang menggelembung sebesar tong, dengan tangkainya yang sudah rapuh, dapat sewaktu waktu jatuh berdebam hanya karena dihinggapi kupu-kupu. Intelegensia Jimbron belum sampai kesana. Maka menerima hukuman apapun dari Pak Mustar Jimbron ikhlas saja. Disuruh berakting, ya, dia berakting sebaik mungkin. Seperti halnya dengan obsesinya pada kuda, tidak ada yang dapat menghentikannya, termasuk aku sekalipun.
Berada dalam pergaulan remaja Melayu yang seharian membanting tulang membawaku pada sikap realistis. Namun, tak pernah kusadari bahwa sikap realistis itu berbahaya karena sangat dekat dengan pesimis. Sekarang, setiap kali Pak Balia membuai kami dengan puisi-puisi indah Prancis, aku hanya menunduk, menghitung hari yang tersisa untuk memikul ikan dan menabung pulang ke kontrakan. Aku sangat paham bahwa tabungan itu tidak akan membawaku ke Prancis. Kini, aku berubah menjadi pribadi yang pesimistis. Peringkatku di SMA, dari peringkat tiga menjadi tujuh puluh lima. Aku dimarahi Pak Mustar habis habisan, hingga ia menyebut tentang ayahku, aku tak tahan lagi. Air mataku mengalir.
Kulewati malam yang penuh siksaan. Aku merasa beku. Tak hanya Pak Mustar, Arai pun turut membentakku, sekaligus Arai telah membantuku melihat arah hidupku kembali. Bahwa pesimistis tak lebih dari sikap mendahului nasib.
“Kita lakukan yang terbaik di sini! Kita akan berkelana, kita akan menjelajah Eropa sampai ke Afrika! Kita akan sekolah ke Prancis! Kita akan ke Sorbonne! Apapun pengorbanannya! Apapun yang akan terjadi!”
Arai berteriak. Suaranya lantang memenuhi lapangan luas sekolah kami, menerobos ruang-ruang gelap dalam kepalaku. Seketika mataku terbuka untuk melihat harapan besar yang tersembunyi dalam hati ayahku. Aku kembali berlari, aku kembali bermimpi.
Dermaga dipenuhi orang melayu yang ingin melihat kuda. Capo baru saja membeli kuda dan baru membawanya sekarang. Ia menamai kudanya Pangeran Mustika Raja Brana. Kulihat Jimbron berdiri tegak di atas tong aspal. Ia menatap sendu truk yang meninggalkan dermaga. Dengan lengan bajunya, dia berulang-ulang mengusap air matanya yang berlinangan.
Tak jauh beda dengan Jimbron, Arai kian jangkung. Badannya kumal, tidurnya tidak teratur. Aku ingin menyenangkannya, dan aku paham satu hal yang dapat menyenangkan hatinya, yaitu Zakiah Nurmala. Perempuan yang ditaksirnya semenjak masuk SMA. Aku menyarankannya untuk menemui Bang Zaitun, guru besar cinta, dan Arai langsung setuju untuk melakukannya.
Kami menemui Bang Zaitun, kemudian ia memberikan suatu rahasia kepada Arai. Ia memberikan Arai sebuah gitar, gitar itu bukanlah gitar ajaib atau penuh mantra guna-guna. Itu hanya gitar biasa.
“Belajarlah main gitar, Boi. Pilih lagu mu sendiri yang paling indah dan mainkan dengan baik, dengan sepenuh jiwa, pada momen yang paling tepat. Lebih bagus lagi jika dirancang sedikit kejutan, Nurmala pasti menoleh pada dirimu…hihihi…”kata Bang Zaitun sambil tertawa dan memperlihatkan gigi emasnya. Arai sumringah dan mendapat kepercayaan dirinya lagi. Sekarang, dia yakin teknik gitar itu akan sukses.
Di sisi lain, Arai kian tenggelam dengan pekerjaan bangunannya. Jimbron menunjukkan gejala makin edan pada kuda. Jimbron benar-benar telah kehilangan motivasi, hingga datanglah suatu keajaiban pada suatu pagi. Waktu itu hari minggu, dini hari sunyi sepi di dermaga. Di luar masih gelap, terdengar suara gemeretak di luar jendela. Gemeretak itu kian dekat, Aku dan Jimbron duduk saling merapat. Bersama kesenyapan itu, angin berembus pelan lalu samar-samar mengalir bau angin, bau hujan, dan bau malam. Aku melompat menyerbu jendela, cepat-cepat membukanya dan … masya Allah! Jantungku mau copot. Aku terlompat dan nyaris pingsan. Hanya sejangkau tangan dariku, menggelinjang nakal sesosok makhluk putih yang sangat besar. Pangeran Mustika Raja Brana.
Ternyata Arai yang membawanya, Arai bekerja pada Capo supaya dapat membawakan kuda putih itu untuk sahabatnya Jimbron. Jimbron tak berhenti tersenyum, ia membawa kuda itu ke pabrik cincau. Kami segera paham arah tujuan Jimbron, yaitu menemui Laksmi, yang bekerja di pabrik cincau. Laksmi tertegun, dia tak percaya dengan matanya sendiri. Jimbron tersenyum bangga. Dia menyentak les yang tersambung pada kadali yang mengekang mulut Pangeran. Kuda putih itu kemudian menaikkan kedua kaki di depannya tinggi-tinggi, menendang-nendang kakinya dan meringkik dengan suaranya yang memecah langit. Orang-orang terhenyak, dan Laksmi, yang selama bertahun-tahun tidak pernah tersenyum, pagi itu untuk pertama kalinya, mereka melihat Laksmi tersenyum.
Tiba saatnya Arai beraksi di depan Nurmala. Ia akan menyanyikan lagu When I Fall In Love, seperti yang telah direncanakan matang-matang. Ia melintasi kebun depan, menuju bawah jendela kamarnya, lalu melempar batu untuk memberi perhatian. Namun, rupanya Nurmala memutar piringan hitam Nat King Cole, dengan lagu yang sama. Arai panik, tapi tetap melolong. Ini adalah pembunuhan karakter paling sadis yang pernah kusaksikan. Lalu suara Arai melemah, ia sadar bahwa Nat King Cole sama sekali bukan tandingannya. Kami pulang melintasi kebun jagung. Wanita indifferent di dalam rumah Victoria itu masih sama sekali tak bisa didekati.
Aku, Arai, dan Jimbron telah menyelesaikan SMA. Kami merantau ke Jakarta, Jimbron memberikan celengan kudanya pada Aku dan Arai masing-masing satu. Kami akan meninggalkan Pulau Belitung. Pulau Belitung tumpah darahku, terapung-apung tegar, tak pernah lindap oleh ombak dua samudera nan bergelora. Belitong yang kukuh tak terkalahkan, kapankan aku akan melihatmu lagi?
Dengan Kapal Bintang Laut Selatan yang menantang, kami sampai di Jakarta. Kami tersesat menuju Bogor karena salah menumpang bis. Kami benar-benar tidak mengetahui Bogor, kami menemukan kampus IPB dan dengan mudah menemukan kamar kos di kampung di belakang IPB. Kami mengamati mahasiswa IPB. Kami bekerja untuk menyambung hidup, kami bekerja sebagai salesman, lalu pindah ke pabrik tali, dan kemudian beralih bekerja di kios fotokopi tetangga di IPB.
Kemudian, aku beralih pekerjaan lagi menjadi pegawai POS, sementara Arai berangkat ke Kalimantan dengan sahabatnya dari pabrik tali. Aku kuliah sambil bekerja di POS. Selesai kuliah, aku mengikuti tes untuk beasiswa S2 yang dibuka Uni Eropa. Pada tes terakhir, aku diwawancarai seorang profesor dalam keadaan kurang percaya diri. Aku meninggalkan ruang wawancaraku dengan lesu, aku melalui sebuah koridor panjang. Ketika melewati sebuah pintu, aku tertarik akan suatu suara yang sepertinya ku kenal. Kusimak baik-baik, kudekatkan telingaku ke pintu. Mungkinkah itu suara dia? Apakah dia yang ada dalam ruangan itu?
Akhirnya, wawancara selesai. Dia keluar ruangan, tiga meter di depanku, dia berdiri tegak sambil tersenyum. Dialah Arai, sang Simpai Keramat. Arai bercerita bahwa dia bekerja di sebuah perusahaan pertambangan di Kalimantan. Sambil bekerja, dia pun kuliah di sebuah universitas di sana. Kami pulang ke Belitung untuk menunggu surat keputusan dari sekretaris program beasiswa itu.
Kami tiba di Belitung. Aku dan Arai menyergapnya ketika dia sedang bersama anak dan istrinya. Dia terkejut bukan main. Kata-katanya tertelan. Usianya bertambah, tapi wajahnya masih anak-anak. Tubuhnya makin lebar. Jimbron senang mendengar kami lulus. Dia terkikik mengangkat anaknya, diiringi dengan senyum Laksmi, yang telah menjadi istrinya.
Malam itu kami bermalam di rumah Jimbron. Lewat tengah malam, aku berjalan sendiri menelusuri gang sempit Magai, hingga sampai di dermaga. Rembulan benderang dan teriakan para nelayan berkumandang. Aku melihat kuli ngambat seolah melihat bayangan kami bertiga. Betapa kami adalah para pemberani, para patriot nasib. Kaki kami tenggelam dalam lumpur sampai ke lutut, namun tak pernah surut menggantungkan cita-cita di angkasa: ingin sekolah di Prancis, ingin menginjakkan kaki kaki miskin kami di atas altar suci almamater Sorbonne ingin menjelajahi Eropa sampai ke Afrika. Tak bisa ditawar-tawar.
Berbulan-bulan kami menunggu keputusan penguji beasiswa. Setiap hari menunggu surat dari Tuan Pos, hingga akhirnya ia datang juga. Ayah mengambil surat itu, menyerahkannya kepadaku dan Arai. Usai maghrib, ayah dan ibuku langsung duduk di kursi, di depan meja makan. Arai mengambil bingkai plastic foto hitam putih ayah dan ibunya. Dia menyingkir ke ruang tengah, duduk di kursi malas ayah seraya membekap bingkai foto dan suratnya. Aku beranjak membawa suratku dan duduk di tangga rumah panggung. Ayah dan Ibuku duduk di kiri kananku. Aku tak sanggup membaca, kuserahkan pada ibuku. Ibu membuka surat itu pelan-pelan dan membacanya. Dia tercenung lalu mengangkat wajahnya, memandang jauh, matanya berkaca-kaca. Detik itu aku langsung tahu bahwa aku lulus. Aku terbelalak ketika membaca nama universitas yang menerimaku. Di ruang tengah, terdengar isak tangis. Kami bangkit menuju suara itu. Kami melihat wajah Arai sembab berurai air mata. Kami masih berdiri mematung di ambang pintu ketika dia mengatakan dengan lirih sambil tersedu sedan, “Aku lulus…” Dadaku sesak. Jelas Arai ingin memberitahukan kelulusan itu kepada Ayah dan Ibunya. Apalah daya sang simpai keramat itu. Arai menangis sesenggukan memeluk ayahku.
Aku mengambil surat beasiswa Arai dan membacanya, lalu jiwaku seakan terbang. Hari itu seluruh ilmu umat manusia menjadi setitik air di tengah samudera pengetahuan. Hari itu, Nabi Musa membelah Laut Merah dengan tongkatnya dan miliaran bintang gemintang berputar dalam lapisan tak terhingga di luar jangkauan akal manusia. Hanya itu kalimat yang dapat menggambarkan betapa indahnya Tuhan telah memeluk mimpi-mimpi kami. Karena di kertas itu tertulis nama universitas yang menerimaku. Disana, jelas tertulis : Université de Paris, Sorbonne, Perancis. Demikian, Resensi dan Ringkasan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Semoga dapat bermanfaat untuk teman-teman semua. Sebagai rekomendasi, baca pula : Resensi novel sirkus pohon karya Andrea Hirata
Arai dan Jimbron adalah sahabatku. Arai seperti orang pada umumnya, namun yang membedakan dia dengan orang lainnya adalah mimpi mimpi nya. Dia sering berkata padaku, bahwa orang yang miskin seperti kita, hanya memiliki mimpi. Tanpa mimpi, kita akan mati. Karena memang hidup Arai sangat sulit, Ibunya meninggal ketika ia kelas satu SD, lalu Ayahnya juga meninggal menginjak ia kelas tiga SD. Arai sebatang kara, orang melayu sering menyebutnya Simpai Keramat, artinya orang terakhir yang tersisa dari satu keluarga. Namun tidak pernah terlintas kesedihan di mukanya, ia adalah seorang pemimpi yang selalu ceria dan selalu semangat bersama mimpi mimpi nya. Karena baginya, bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi mimpi itu.
Semenjak ayahnya meninggal, Arai hidup dengan keluargaku. Aku dan Arai menjadi sangat dekat. Kami melakukan banyak hal bersama. Kami pernah memecahkan celengan kami yang berisi recehan demi membelikan tetangga bahan membuat roti agar ia dapat memulai usaha penjualan roti dan tidak setiap hari meminta nasi pada tetangganya. Kami pernah juga bersama sama mengaji serta mengerjai guru ngaji kami. Aku dan Arai seperti sebatang jarum di atas meja dan magnet dibawahnya.
Sahabatku yang lain bernama Jimbron. Sama seperti Arai, orang tuanya telah meninggal. Ia dibesarkan oleh Pendeta Geovanny. Jimbron gagap, namun ia hanya gagap apabila sedang panik saja. Jimbron sangat menyukai kuda, ia terobsesi pada kuda walaupun di kampung kami tak ada seekor pun kuda.
Kami bertiga merantau ke Magai untuk sekolah di SMA negeri. Kami sekolah sambil bekerja. Kami pernah bekerja mendulang timah, bekerja di warung orang cina, office boy, hingga sekarang kami bekerja ngambat, atau memikul ikan dan hasil laut lain dari perahu ke pasar pasar. Terlepas dari pekerjaan kami, di sekolah kami selalu termotivasi oleh guru guru kami, terutama Pak Balia sebagai kepala sekolah kami akan perlunya mengejar mimpi. Seperti yang disampaikannya,”Maka berkelanalah di atas muka bumi ini untuk menemukan mozaik mu.”
Kata kata itulah yang terus memotivasiku untuk belajar dan bekerja keras. Walaupun orang tuaku bahkan orang yang tak tersentuh oleh bangku pendidikan. Ibuku masih dapat menulis dengan huruf latin, tapi ayahku bahkan hanya dapat menulis namanya dengan tulisan arab. Ayahku adalah seorang yang pendiam. Tapi aku paham bahwa lelaki pendiam memiliki kasih sayang yang jauh lebih besar kepada keluarganya. Salah satu buktinya adalah baju safari ayahku. Baju itu tidak pernah ayah gunakan kemanapun untuk tujuan apapun, kecuali ke sekolahku untuk mengambil rapor ku dan Arai.
Aku, Arai, dan Jimbron sering melakukan hal bersama sama, baik hal yang baik hingga yang agak nakal sekalipun. Di depan los kontrakan kami, terdapat sebuah gedung bioskop yang tampaknya akan memutar film baru. Film itu adalah film yang disebut orang kota sana film biru, sehingga kami tidak berani untuk mendekatinya, apalagi menontonnya. Pak Mustar juga melarang keras kami menonton film di bioskop. Akan tetapi, darah muda kami seolah berkata lain, hingga atas ide Jimbron, kami menyamar sebagai orang bersarung dan masuk ke bioskop untuk menonton film itu. Kami berhasil melewati tukang karcis sekaligus tukang sobeknya. Kami berhasil memasuki bioskop dan menonton film itu. Di dalam, kami berpikir lain, ternyata film ini memang membosankan dan mudah ditebak. Penyesalan kami berlanjut ketika di saat saat terakhir film, Pak Mustar sudah di depan kami. Ternyata Pak Mustar mengetahui apa yang kami lakukan. Pak Mustar benar benar geram, ia menyeret kami keluar bioskop dan berkata, “Ingin tahu seperti apa neraka dunia? Lihat saja di sekolah Senin pagi nanti, Berandal!”
Senin pagi tidak ada siswa yang terlambat apel. Seperti yang dikatakan Pak Mustar sebelumnya, kami akan diperlihatkan neraka dunia oleh Pak Mustar. Ternyata benar, Pak Mustar memberikan kami hukuman untuk membersihkan WC yang sudah sangat kotor dan juga membersihkan kotoran kelelawar pada langit-langitnya. Namun bukan itu yang paling mengerikan, karena justru yang paling mengerikan adalah ketika kami bertiga disuruh untuk berakting menirukan film yang kami tonton di bioskop. Itulah kejadian yang sangat memalukan, hanya Jimbron yang masih dapat berakting dengan sepenuh hati.
Begitulah pemikiran Jimbron, dalam pikirannya, jika kita ditimpa buah nangka, itu artinya memang nasib kita harus ditimpa buah nangka, Tuhan telah mencatat dalam buku-Nya bahwa kita memang akan ditimpa buah nangka. Dengan mentalitas seperti itulah Jimbron mempersepsikan dirinya. Barangkali ada benarnya, tapi tak dapat dipungkiri bahwa pandangan itu mengandung kenaifan mahabesar. Diperlukan intelegensi yang tinggi untuk memahami bahwa buah nangka matang yang menggelembung sebesar tong, dengan tangkainya yang sudah rapuh, dapat sewaktu waktu jatuh berdebam hanya karena dihinggapi kupu-kupu. Intelegensia Jimbron belum sampai kesana. Maka menerima hukuman apapun dari Pak Mustar Jimbron ikhlas saja. Disuruh berakting, ya, dia berakting sebaik mungkin. Seperti halnya dengan obsesinya pada kuda, tidak ada yang dapat menghentikannya, termasuk aku sekalipun.
Berada dalam pergaulan remaja Melayu yang seharian membanting tulang membawaku pada sikap realistis. Namun, tak pernah kusadari bahwa sikap realistis itu berbahaya karena sangat dekat dengan pesimis. Sekarang, setiap kali Pak Balia membuai kami dengan puisi-puisi indah Prancis, aku hanya menunduk, menghitung hari yang tersisa untuk memikul ikan dan menabung pulang ke kontrakan. Aku sangat paham bahwa tabungan itu tidak akan membawaku ke Prancis. Kini, aku berubah menjadi pribadi yang pesimistis. Peringkatku di SMA, dari peringkat tiga menjadi tujuh puluh lima. Aku dimarahi Pak Mustar habis habisan, hingga ia menyebut tentang ayahku, aku tak tahan lagi. Air mataku mengalir.
Kulewati malam yang penuh siksaan. Aku merasa beku. Tak hanya Pak Mustar, Arai pun turut membentakku, sekaligus Arai telah membantuku melihat arah hidupku kembali. Bahwa pesimistis tak lebih dari sikap mendahului nasib.
“Kita lakukan yang terbaik di sini! Kita akan berkelana, kita akan menjelajah Eropa sampai ke Afrika! Kita akan sekolah ke Prancis! Kita akan ke Sorbonne! Apapun pengorbanannya! Apapun yang akan terjadi!”
Arai berteriak. Suaranya lantang memenuhi lapangan luas sekolah kami, menerobos ruang-ruang gelap dalam kepalaku. Seketika mataku terbuka untuk melihat harapan besar yang tersembunyi dalam hati ayahku. Aku kembali berlari, aku kembali bermimpi.
Dermaga dipenuhi orang melayu yang ingin melihat kuda. Capo baru saja membeli kuda dan baru membawanya sekarang. Ia menamai kudanya Pangeran Mustika Raja Brana. Kulihat Jimbron berdiri tegak di atas tong aspal. Ia menatap sendu truk yang meninggalkan dermaga. Dengan lengan bajunya, dia berulang-ulang mengusap air matanya yang berlinangan.
Tak jauh beda dengan Jimbron, Arai kian jangkung. Badannya kumal, tidurnya tidak teratur. Aku ingin menyenangkannya, dan aku paham satu hal yang dapat menyenangkan hatinya, yaitu Zakiah Nurmala. Perempuan yang ditaksirnya semenjak masuk SMA. Aku menyarankannya untuk menemui Bang Zaitun, guru besar cinta, dan Arai langsung setuju untuk melakukannya.
Kami menemui Bang Zaitun, kemudian ia memberikan suatu rahasia kepada Arai. Ia memberikan Arai sebuah gitar, gitar itu bukanlah gitar ajaib atau penuh mantra guna-guna. Itu hanya gitar biasa.
“Belajarlah main gitar, Boi. Pilih lagu mu sendiri yang paling indah dan mainkan dengan baik, dengan sepenuh jiwa, pada momen yang paling tepat. Lebih bagus lagi jika dirancang sedikit kejutan, Nurmala pasti menoleh pada dirimu…hihihi…”kata Bang Zaitun sambil tertawa dan memperlihatkan gigi emasnya. Arai sumringah dan mendapat kepercayaan dirinya lagi. Sekarang, dia yakin teknik gitar itu akan sukses.
Di sisi lain, Arai kian tenggelam dengan pekerjaan bangunannya. Jimbron menunjukkan gejala makin edan pada kuda. Jimbron benar-benar telah kehilangan motivasi, hingga datanglah suatu keajaiban pada suatu pagi. Waktu itu hari minggu, dini hari sunyi sepi di dermaga. Di luar masih gelap, terdengar suara gemeretak di luar jendela. Gemeretak itu kian dekat, Aku dan Jimbron duduk saling merapat. Bersama kesenyapan itu, angin berembus pelan lalu samar-samar mengalir bau angin, bau hujan, dan bau malam. Aku melompat menyerbu jendela, cepat-cepat membukanya dan … masya Allah! Jantungku mau copot. Aku terlompat dan nyaris pingsan. Hanya sejangkau tangan dariku, menggelinjang nakal sesosok makhluk putih yang sangat besar. Pangeran Mustika Raja Brana.
Ternyata Arai yang membawanya, Arai bekerja pada Capo supaya dapat membawakan kuda putih itu untuk sahabatnya Jimbron. Jimbron tak berhenti tersenyum, ia membawa kuda itu ke pabrik cincau. Kami segera paham arah tujuan Jimbron, yaitu menemui Laksmi, yang bekerja di pabrik cincau. Laksmi tertegun, dia tak percaya dengan matanya sendiri. Jimbron tersenyum bangga. Dia menyentak les yang tersambung pada kadali yang mengekang mulut Pangeran. Kuda putih itu kemudian menaikkan kedua kaki di depannya tinggi-tinggi, menendang-nendang kakinya dan meringkik dengan suaranya yang memecah langit. Orang-orang terhenyak, dan Laksmi, yang selama bertahun-tahun tidak pernah tersenyum, pagi itu untuk pertama kalinya, mereka melihat Laksmi tersenyum.
Tiba saatnya Arai beraksi di depan Nurmala. Ia akan menyanyikan lagu When I Fall In Love, seperti yang telah direncanakan matang-matang. Ia melintasi kebun depan, menuju bawah jendela kamarnya, lalu melempar batu untuk memberi perhatian. Namun, rupanya Nurmala memutar piringan hitam Nat King Cole, dengan lagu yang sama. Arai panik, tapi tetap melolong. Ini adalah pembunuhan karakter paling sadis yang pernah kusaksikan. Lalu suara Arai melemah, ia sadar bahwa Nat King Cole sama sekali bukan tandingannya. Kami pulang melintasi kebun jagung. Wanita indifferent di dalam rumah Victoria itu masih sama sekali tak bisa didekati.
Aku, Arai, dan Jimbron telah menyelesaikan SMA. Kami merantau ke Jakarta, Jimbron memberikan celengan kudanya pada Aku dan Arai masing-masing satu. Kami akan meninggalkan Pulau Belitung. Pulau Belitung tumpah darahku, terapung-apung tegar, tak pernah lindap oleh ombak dua samudera nan bergelora. Belitong yang kukuh tak terkalahkan, kapankan aku akan melihatmu lagi?
Dengan Kapal Bintang Laut Selatan yang menantang, kami sampai di Jakarta. Kami tersesat menuju Bogor karena salah menumpang bis. Kami benar-benar tidak mengetahui Bogor, kami menemukan kampus IPB dan dengan mudah menemukan kamar kos di kampung di belakang IPB. Kami mengamati mahasiswa IPB. Kami bekerja untuk menyambung hidup, kami bekerja sebagai salesman, lalu pindah ke pabrik tali, dan kemudian beralih bekerja di kios fotokopi tetangga di IPB.
Kemudian, aku beralih pekerjaan lagi menjadi pegawai POS, sementara Arai berangkat ke Kalimantan dengan sahabatnya dari pabrik tali. Aku kuliah sambil bekerja di POS. Selesai kuliah, aku mengikuti tes untuk beasiswa S2 yang dibuka Uni Eropa. Pada tes terakhir, aku diwawancarai seorang profesor dalam keadaan kurang percaya diri. Aku meninggalkan ruang wawancaraku dengan lesu, aku melalui sebuah koridor panjang. Ketika melewati sebuah pintu, aku tertarik akan suatu suara yang sepertinya ku kenal. Kusimak baik-baik, kudekatkan telingaku ke pintu. Mungkinkah itu suara dia? Apakah dia yang ada dalam ruangan itu?
Akhirnya, wawancara selesai. Dia keluar ruangan, tiga meter di depanku, dia berdiri tegak sambil tersenyum. Dialah Arai, sang Simpai Keramat. Arai bercerita bahwa dia bekerja di sebuah perusahaan pertambangan di Kalimantan. Sambil bekerja, dia pun kuliah di sebuah universitas di sana. Kami pulang ke Belitung untuk menunggu surat keputusan dari sekretaris program beasiswa itu.
Kami tiba di Belitung. Aku dan Arai menyergapnya ketika dia sedang bersama anak dan istrinya. Dia terkejut bukan main. Kata-katanya tertelan. Usianya bertambah, tapi wajahnya masih anak-anak. Tubuhnya makin lebar. Jimbron senang mendengar kami lulus. Dia terkikik mengangkat anaknya, diiringi dengan senyum Laksmi, yang telah menjadi istrinya.
Malam itu kami bermalam di rumah Jimbron. Lewat tengah malam, aku berjalan sendiri menelusuri gang sempit Magai, hingga sampai di dermaga. Rembulan benderang dan teriakan para nelayan berkumandang. Aku melihat kuli ngambat seolah melihat bayangan kami bertiga. Betapa kami adalah para pemberani, para patriot nasib. Kaki kami tenggelam dalam lumpur sampai ke lutut, namun tak pernah surut menggantungkan cita-cita di angkasa: ingin sekolah di Prancis, ingin menginjakkan kaki kaki miskin kami di atas altar suci almamater Sorbonne ingin menjelajahi Eropa sampai ke Afrika. Tak bisa ditawar-tawar.
Berbulan-bulan kami menunggu keputusan penguji beasiswa. Setiap hari menunggu surat dari Tuan Pos, hingga akhirnya ia datang juga. Ayah mengambil surat itu, menyerahkannya kepadaku dan Arai. Usai maghrib, ayah dan ibuku langsung duduk di kursi, di depan meja makan. Arai mengambil bingkai plastic foto hitam putih ayah dan ibunya. Dia menyingkir ke ruang tengah, duduk di kursi malas ayah seraya membekap bingkai foto dan suratnya. Aku beranjak membawa suratku dan duduk di tangga rumah panggung. Ayah dan Ibuku duduk di kiri kananku. Aku tak sanggup membaca, kuserahkan pada ibuku. Ibu membuka surat itu pelan-pelan dan membacanya. Dia tercenung lalu mengangkat wajahnya, memandang jauh, matanya berkaca-kaca. Detik itu aku langsung tahu bahwa aku lulus. Aku terbelalak ketika membaca nama universitas yang menerimaku. Di ruang tengah, terdengar isak tangis. Kami bangkit menuju suara itu. Kami melihat wajah Arai sembab berurai air mata. Kami masih berdiri mematung di ambang pintu ketika dia mengatakan dengan lirih sambil tersedu sedan, “Aku lulus…” Dadaku sesak. Jelas Arai ingin memberitahukan kelulusan itu kepada Ayah dan Ibunya. Apalah daya sang simpai keramat itu. Arai menangis sesenggukan memeluk ayahku.
Aku mengambil surat beasiswa Arai dan membacanya, lalu jiwaku seakan terbang. Hari itu seluruh ilmu umat manusia menjadi setitik air di tengah samudera pengetahuan. Hari itu, Nabi Musa membelah Laut Merah dengan tongkatnya dan miliaran bintang gemintang berputar dalam lapisan tak terhingga di luar jangkauan akal manusia. Hanya itu kalimat yang dapat menggambarkan betapa indahnya Tuhan telah memeluk mimpi-mimpi kami. Karena di kertas itu tertulis nama universitas yang menerimaku. Disana, jelas tertulis : Université de Paris, Sorbonne, Perancis. Demikian, Resensi dan Ringkasan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Semoga dapat bermanfaat untuk teman-teman semua. Sebagai rekomendasi, baca pula : Resensi novel sirkus pohon karya Andrea Hirata
izin copast yaa
ReplyDeleteOke mas
ReplyDelete