Resensi Novel Sirkus Pohon Karya Andrea Hirata
Judul : Sirkus Pohon
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Jumlah halaman : ~383
ISBN : 978-602-291-409-9
Tahun terbit : 2017
Buku berjudul Sirkus Pohon ini
merupakan buku kesepuluh yang ditulis oleh Andrea Hirata. Buku ini menceritakan
tentang kehidupan Sobri, pemuda yang membenci pohon delima di depan rumahnya,
serta disisi lain juga menceritakan kisah Tegar dan Tara yang dahulu pernah
bertemu di Taman Bermain Pengadilan ketika kecil. Berawal dari pertemuan itu,
Tegar dan Tara semakin tumbuh dewasa dan berupaya untuk saling menemukan karena
setelah berpisah, mereka belum pernah bertemu kembali selain di Taman Bermain
Pengadilan tersebut. Kedua rangkaian kisah tersebut nantinya akan saling
berkaitan dan berhubungan.
Buku
ini menceritakan tokoh Sobri,yang merupakan pemuda dengan pekerjaan kuli
serabutan di pasar. Suatu ketika, ia bertemu dengan Dinda, cinta pertamanya. Meskipun
Sobri pernah dicap sebagai pencuri, ia tetap berani dan percaya diri mendekati
Dinda. Dinda juga tidak keberatan, namun Dinda meminta supaya Sobri memiliki
pekerjaan tetap, rumah, serta bisa menjalankan sepeda. Dengan bekerja keras,
Sobri akhirnya diterima sebagai badut sirkus yang dimiliki oleh Ibu dari Tara.
Dengan pernghasilan tetapnya sebagai badut, Sobri membangun rumah sederhana.
Tak hanya itu, kerja keras Sobri dalam berlatih sepeda juga membuahkan hasil.
Sobri pun melamar Dinda dan merencanakan pernikahannya.
Di sisi lain, penulis juga
menceritakan tentang kisah Tegar dan Tara. Tegar dan Tara bertemu ketika kelas
5 SD di Taman Bermain yang terletak di pengadilan. Mereka berdua berada di
pengadilan karena masing-masing orang tua mereka sedang menjalani sidang
perceraian. Di Taman Bermain, Tara tidak memiliki kesempatan untuk bermain
perosotan karena dihalangi tiga anak laki-laki. Sehingga, Tegar menghalangi
tiga anak laki-laki itu supaya Tara dapat bermain di perosotan itu seraya
berkata “Jangan takut, aku menjagamu”. Sejak saat itu, Tara menjulukinya
sebagai sang pembela. Tara dan Tegar
bertemu tanpa mengenal nama masing-masing, karena setelah insiden itu keduanya
kembali menuju ibunya masing-masing. Tara dan Tegar memiliki perasaan khusus
yang dirasakan keduanya, sehingga mereka terus saling mencari tanpa mengetahui
nama masing-masing. Tara mencari berdasarkan kemampuannya melukis wajah dari
seseorang yang dijulukinya “sang pembela”, sedangkan Tegar mencari berdasarkan
wangi vanili pada Tara, yang dijulukinya “layang-layang”. Tegar menjuluki
layang layang karena setiap kali memikirkannya, ia berasa terbang.
Seperti
novel-novel karya Andrea sebelumnya, Salah satu keunggulan novel ini adalah
sangat memotivasi pembaca. Salah satunya adalah tokoh Sobri yang diceritakan
memiliki semangat hidup tinggi dan pantang menyerah, seperti motto hidupnya :
“Bangun pagi, let’s go”. Alur novel juga unik dan sulit ditebak, sehingga
pembaca akan diajak untuk berimajinasi atau terkadang memperkirakan apa
kelanjutan cerita dari novel ini. Dalam penyampaiannya, Andrea juga sering
menyisipkan berbagai pengetahuan umum yang dapat memperluas wawasan pembaca.
Penulis juga mampu menyampaikan cerita dan menghidupkan tokoh dengan diiringi
humor yang semakin membuat pembaca menkikmati setiap cerita dari novel ini.
Berbagai pantun yang ada pada novel ini juga tidak kalah menarik. Tak hanya
pantun, Andrea Hirata juga banyak mengangkat berbagai budaya khas melayu
lainnya.
Salah
satu kekurangan novel adalah alur nya yang melompat atau berpindah-pindah. Hal
ini dapat dimaklumi karenapada awal novel, penulis menyampaikan dua kisah yang
berbeda dan belum berhubungan, yaitu kisah Sobri dan Tegar. Akan tetapi bagi
yang sudah terbiasa, hal ini tidaklah menjadi masalah lagi. Selain itu, penulis
juga dalam menyampaikan pengetahuan umum terkadang tidak diberikan penjelasan
singkat tentang pengetahuan tersebut, sehingga beberapa orang akan mengalami
kebingungan tentang apa yang dimaksud Andrea Hirata.
Comments
Post a Comment